Sekilas Tentang KH Mas Abdurrahman dan Beberapa Karyanya





  • Lukisan Foto KH Mas Abdurrahman
    Oleh: Huriyudin Humaedi.

    Mathlaulanwar.or.id, KH Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi lahir di kampung Janaka, Menes, kabupaten Pandeglang, Banten pada 1875, dan meninggal pada 27 Sya’ban 1363 Hijriyah (bertepatan dengan 16 Agustus 1944). Janaka adalah nama kampong di kawasan gunung Haseupan, sekitar 15 km dari Menes ke arah utara. Sampai tahun 1970-an, untuk mencapai Janaka ditempuh dengan naik angkutan umum sepanjang 7 km, sementara sisanya harus berjalan kaki. Tidak jelas kapan persisnya dilahirkan, bahkan tahun 1875 saja nampaknya lebih dari sekedar perkiraan tanpa didasarkan pada data yang jelas. Dalam catatan keluarga, beliau merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, yang kakak-kakaknya tidak lagi bisa disebutkan namanya, karena tidak tersedia data tentangnya. Orangtuanya, Mas Jamal, merupakan salah seorang tokoh agama yang disegani di Janaka. Gelar “mas” di depan namanya menunjukkan bahwa beliau adalah seorang keturunan keluarga kesultanan Banten yang melarikan diri dari istana akibat serangan kolonial.

    Sebagai anak dari tokoh agama dan tokoh masyarakat yang disegani, Abdurrahman kecil berkembang dalam asuhan keluarga. Dari keluarga ini pulalah untuk pertama kalinya Abdurrahman kecil berkenalan dengan ilmu keislaman, mulai dari mengaji, belajar shalat, memahami rukun Islam dan rukun iman, serta berbagai masalah keagamaan lainnya. Dengan penuh telaten Mas Jamal memberikan bimbingan kepada Abdurrahman, sampai anaknya memiliki pengetahuan keagamaan yang memadai. Dalam catatan Nahid Abdurrahman, selain kepada ayahnya, KH Abdurrahman juga berguru kepada beberapa ulama, antara lain Kyai Shohib di sekitar Menes. Beliau juga tercatat pernah berguru kepada Kyai Ma’mun di Serang, seorang huffadz dan ahli dalam kajian dan bacaaan Al-Quran.

    Sebagai anak desa, Abdurrahman kecil tentu tidak sekedar mengaji dan mempelajari ilmu agama. Dia juga rajin membantu orangtuanya bertani, di samping memiliki teman sepermainan sebagai bagian dari proses pembentukan karakter social dan keagamaannya di kelak kemudian hari. Dalam pandangan teman-teman sepermainannya, Abdurrahman kecil dikenal sebagai anak yang pandai, rajin, dan sopan. Potensi kepemimpinannya sudah nampak sejak sangat dini. Dalam pergaulannya sehari-hari Abdurrahman selalu berada di depan, dan menjadi pemimpin bagi kawan-kawan sepermainannya. Tidak jarang pula dia tampil menyelesaikan berbagai persoalan, dan diikuti oleh teman-temannya.

    Selain berguru kepada orangtuanya, Mas Abdurrahman diduga juga belajar kepada kyai atau ustadz di sekitar Menes dan Pandeglang yang memang menjadi salah satu pusat perkembangan pondok pesantren di Banten. Sayangnya data tentang pengalaman pendidikan ini tidak tersedia, dan menjadi halaman gelap yang sulit ditelusuri. Karea itu, para penutur kisah hidupnya lebih sering mengambil jalan pintas dengan mengatakan bahwa Abdurrahman muda tidak berguru kemana pun selain kepada bapaknya, Mas Jamal.
    Sebagai anak keturunan seorang yang berpengaruh dan kelas menak di Menes, bukan hal yang mustahil Abdurrahman juga mengenyam sekolah umum di Menes, karena sejak 1887 di kota ini telah berdiri sekolah Belanda, setelah ibukota keresidenan Caringin dipindah akibat gelombang tsunami yang meluluhlantakkan seluruh kawasan pantai di Banten sebagai efek dari letusan dahsyat gunung Krakatau pada 1883. Tetapi lagi-lagi catatan tentang ini tidak tersedia. Akibatnya, catatan pengalaman pendidikan Abdurrahman muda tidak tersedia dan menjadi halaman gelap dari sejarah sang tokoh.

    Bahwa kemungkinan Abdurrahman muda berguru ke beberapa pondok pesantren dan atau menjadi murid sekolah Belanda di Menes didasarkan atas fakta berikut ini. Pertama, keberangkatannya ke Mekkah untuk mempelajari ilmu agama jelas membutuhkan dasar-dasar keilmuan yang memadai terlebih dahulu, dan itu tidak cukup dengan hanya belajar dari orangtua –terlebih Mas Jamal sendiri tidak tercatat memiliki pondok pesantren. Karena itu, mestinya Abdurrahman muda pernah pula mengenyam pendidikan di pondok pesantren dan belajar kepada pada kyai dan ulama tradisional ketika itu. Sayangnya KH Abdurrahman sendiri tidak menuliskan sejarah dan pengalaman hidupnya. Keberngkatannya ke Mekkah sendiri memang tidak semata-mata untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama, tetapi yang paling utama adalah berziarah ke makan orangtuanya yang meninggal di Mekkah saat menjalankan haji. Tetapi usaha untuk lebih mendalam ilmu agama di sana akan sulit dilakukan jika ia tidak memiliki basis keilmuan yang memadai sebelumnya.

    Kedua, sebagai anak dari seorang menak di Menes sebagaimana nampak dari sebutan “Mas” di depan namanya, Abduurahman memiliki akses dan peluang yang terbuka untuk memasuki sekolah Belanda. Dan sebagai menak, tidak mustahil pula Mas Jamal menutup akses sepenuhnya kepada anaknya untuk memasuki sekolah kolonial itu. Tapi, biarlah hal ini menjadi pertanyaan abadi yang mungkin tak akan terjawab, karena memang data tentang itu belum ditemukan. Hanya saja, jaringan sosialnya yang luas di sekitar Menes yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan ulama serta pejabat pemerintah hampir mustahil diperoleh tanpa latar belakang pendidikan dan pengakuan keilmuan sama sekali.

    Ketiga, dengan melihat sepintas buku-buku yang ditulisnya, nampak bahwa Abdurrahman memiliki latar belakang pesantren yang kental, dengan penguasaan terhadap kitab kuning dan ilmu bahasa yang cukup matang. Keberangkatannya ke Mekkah pada sekitar 1905 –yang berarti saat itu usianya telah mengingjak 30 tahunan—mengindikasikan bahwa dalam waktu yang cukup lama beliau menimba ilmu terlebih dahulu di berbagai pondok pesantren di Banten. Dua bukunya tentang ilm sharaf dan terjemahan yang dilakukannya terhadap kitab Nahwu –untuk sekedar contoh—menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan awalnya ditempuh di pondok pesantren tradisional. Selain itu, kedekatannya dengan KH Asnawi Caringin menunjukkan pula bahwa beliau memiliki latar kepesantrenan yang kuat, serta dengan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang mumpuni.

    Keempat, kepulangannya kembali ke Menes setelah belajar di Mekkah selama sekitar 10 tahun dilakukan karena panggilan para ulama dan tokoh masyarakat Menes yang memintanya untuk segera kembali ke tanah air. Untuk itu, beberapa tokoh masyarakat dan ulama bahkan rela patungan untuk menyediakan ongkos bagi Mas Abdurrahman Secara logis, hal ini hanya mungkin terjadi kepada seorang tokoh yang telah terkenal dan diketahui kemampuan ilmunya, serta memiliki jaringan social dan keilmuan yang luas. Nah, mungkinkah ini terjadi kepada seorang yang bahkan tidak pernah “mondok” sama sekali? Rasanya sulit diterima. Sebab, bagaimana mungkin orang sekaliber KH Abdul Lathief, Kyai Sholeh dan Entol Mohammad Yasin yang tercatat menjabat sebagai wedana (demang) di Menes bisa mengenalnya dengan dekat (dan memintanya segera kembali ke Menes) bila sebelumnya tidak terjadi kontak yang intens dengan tokoh ulama dan para priyayi di Menes.

    KH Mas Abdurrahman bin Jamal al-Janakawi memiliki 6 (enam) orang istri yang dinikahinya secara bergantian sesuai dengan syari’at Islam. Sebagai Muslim, ia tidak menikah dengan enam istri sekaligus, melainkan berganti-ganti karena sang istri meninggal. Pernikahannya dengan beberapa orang istri secara poligami dilakukan karena adanya tawaran dari masyarakat yang ingin meninahkan anaknya dengan beliau, misalnya dalam bentuk nadzar atau ekspresi kebanggaan warga kepada sang tokoh. Dalam catatan keluarga, istri-istrinya adalah Enong (putri Kyai Soleh, salah seorang tokoh yang meminta dan membiayai KH Abdurrahman kembali ke tanah air), Maemunah (Minot, Kananga-Soreang), Siti Hadijah (Ijot, Majau, Menes), Enjoh Juhariyah (Kadukaung), Yayah Abdul Lathif (Nanggorak), dan Su’aebah Tatu (Kampung Baru). Secara keseluruhan KH Abdurrahman memiliki 15 (limabelas) orang anak, terdiri atas 7 (tujuh) laki-laki dan 8 (delapan) perempuan, yang diperolehnya dari tiga istri, yakni Maemunah, Siti Hadijah, dan Enjoh Johariyah. Istrinya yang pertama (Enong) tidak membuahkan keturunan, karena tidak lama setelah menikah beliau meninggal di Tanjungpriuk dalam rencana perjalanan ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Juga dari istrinya yang ke-5 (Yayah Abdul Lathief) dank ke-6 (Su’aebah Tatu).

    Dari istri yang kedua, Maemunah, KH Mas Abdurrahman dikaruniai 8 (delapan) orang anak, yaitu M. Emod, H. Abeh Chabri, Hamid, Enong Hasanah, Aena Eno, Mariyam, H. Adung Abdurrahman, dan Bai Aisyah. Sementara itu, dari istrinya yang ke-3, Siti Hadijah (Ijot), dikaruniai 4 (empat) orang anak, yakni KH. Cholid, KH. Muslim, Hj. E. Muslimah, dan Nahid Abdurrahman (pernah menjadi Sekjen PB Mathla’ul Anwar). Sedangkan dari istrinya yang keempat, Enjoh Juhaeriyah, dikaruniai 4 (empat) orang anak: Enong Johariah, H Mundiah Mumun, dan Jahriyah. Dari ke-15 anaknya, setidaknya terdapat 4 (empat) orang anaknya yang cukup popular di kalangan masyarakat Menes dan warga Mathla’ul Anwar, yakni KH. Cholid, KH. Muslim, H. Adung Abdurrahman, dan Nahid Abdurrahman.

    Di kalangan masyarakat Menes dan warga Mathla’ul Anwar, KH. Cholid tercatat sebagai orang yang melakukan pembaharuan dan perubahan orientasi keagamaan di Mathla’ul Anwar menjadi lebih condong dan cenderung ke Wahabi, orientasi keislaman di Arab Saudi yang digagas oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab. KH. Abdurrahman memang mengirimnya ke Mekkah untuk mendalami ilmu keislaman di sana, persis pada saat Wahabisme dan Kerajaan Arab Saudi tengah berada pada posisi stabilitas kekuasaan, setelah sekitar 10 tahun sebelumnya membebaskan diri dari Ottoman. Reorientasi keagamaan ke arah Wahabisme juga diperkuat oleh KH. Muslim, yang dikirim oleh KH Abdurrahman untuk melanjutkan studi di lembaga pendidikan yang didirikan oleh warga keturunan Arab di Jakarta, Jami’at Khair. Kedua orang inilah yang membawa arah baru orientasi keagamaan di Mathla’ul Anwar, yang kelak di kemudian hari –pada dekade 70 dan 80-an—mengalami masa puncak pengaruhnya di organisasi ini.

    Sementara itu, KH. Adung Abdurrahman tercatat sebagai putranya yang melakukan penyimpangan kelembagaan dari Mathla’ul Anwar dengan mendirikan perguruan MALNU, Mathla’ul Anwar li Nahdhatil Ulama –persis di depan kampus Perguruan Pusat MA di Simanying, Menes. Bagi KH Adung, MA adalah organisasi social keagamaan Islam yang memiliki hubungan sangat erat dengan Nahdlatul Ulama, baik dari sisi kelembagaan maupun kultur keagamaan. Secara kelembagaan, tokoh-tokoh MA merupakan pengurus organisasi NU di Menes. Dalam sejarah NU sendiri, KH. Mas Abdurrahman bin Jamal tercatat sebagai salah seorang tokoh dan pendiri Nahdlatul Ulama. Sementara secara cultural, tradisi keagamaan yang diusung MA memiliki kesamaan dengan NU, baik dari sisi sumber informasi keilmuan yang digunakan ==yakni kitab kuning dan tradisi pesantren— maupun dari wacana keagamaan yang dikembangkannya. Fakta ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pada tahun 1936 Nahdlatul Ulama mengadakan muktamarnya di Menes. Tanpa kedekatan cultural dengan MA dan KH Mas Abdurrahman, rasanya sulit bagi NU untuk dapat melaksanakan muktamar yang kolosal dan missal itu di Menes. Fakta lainnya adalah, bahwa corak keilmuan yang dianut oleh KH Mas Abdurrahman bin Jamal sendiri, sebagaimana nampak dari berbagai tulisan dan buku-bukunya sepenuhnya sebangun dengan wacana keagamaan yang diusung NU dan kalangan pesantren. Karena itu, ketika pada sekitar tahun 60-70an terjadi “Wahabisasi” di MA yang dilakukan antara lain oleh KH. Holid dan KH Muslim (yakni dua saudaranya), KH Adung kemdian melakukan mufaraqah dengan mendirikan MALNU: yairtu Mathla’ul Anwar tapi NU, dan pada saat yang bersamaan NU tetapi Mathla’ul Anwar. Sedangkan KH Nahid Abdurrahman, seperti disinggung di muka, adalah putra KH Mas Abdurrahman yang pernah tercatat sebagai Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Mathla’ul Anwar pada dekade 1990-an. Selain itu, melalui Nahid-lah catatan historis dan biografi singkat KH Mas Abdurrahman bin Jamal berhasil disusun danditerbitkan di Rangkasbitung oleh penerbit Tawekkal pada 1971.

    Dalam pada itu, dari alamat dan kampong istri-istrinya yang berbeda nampak bahwa pernikahannya bukan karena pertimbangan seks semata, tetapi lebih didasarkan atas semangat dakwah. Sebagai seorang ulama dengan kegiatan pengajian di berbagai kampung dan desa, KH Abdurrahman menggilir istri-istrinya sesuai dengan jadwal hari pengajiannya di Majelis Ta’lim yang memang senantiasa ditunggu kehadirannya. Melalui kegiatannya di berbagai kampong dan desa itu pula, ia juga menggagas pendirian masjid dan membangun madrasah. Untuk membiayai pembangunannya, selain dilakukan melalui pengumpulan “beas parelek” (sumbangan beras yang dibarikan oleh ibu-ibu dan anggota rumahtangga pada setiap hadir dalam pengajian), KH Abdurahman sendiri mendedikasikan beberapa tulisan dan bukunya untuk sebagiannya diwakafkan bagi pembangunan masjid atau madrasah.

    Beberapa Karya KH Mas Abdurrahman bin Jamal 

    1. Tarjamah Jamilah atas Matan Ajurumiyah
    Sebagaimana telah jelas dari judulnya, buku ini merupakan terjemahan kitab tipis Matn jurumiah, yang membahas tentan ilmu nahu dan tata bahasa Arab. Di kalangan pondok pesantren, kitab tipis ini amatlah popular, dan merupakan kajian wajib yang mesti dilewati oleh setiap santri. Mengingat posisinya yang penting itulah, KH Mas Abdurrahman kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Sunda, untuk menjadi bahan ajar bagi seluruh siswa dan santri di lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar.
    Dari sisi format, buku ini mungkin tidak pas disebut buku –apalagi kitab, mengingat ukurannya yang terlampau kecil (seperti layaknya sebuah buku saku) dengan jumlah halaman yang tipis, tidak sampai 100 halaman. Dapat dipastikan, penerjemahan ini dilakukan untuk mengisi kekosongan bahan ajar dalam bidang studi bahasa Arab di lingkungan organisasi Mathla’ul Anwar. Meski demikian, penggunaannya sebagai bahan ajar tidak hanya di gunakan di MA, melainkan juga di lembaga pendidikan lainnya.

    2. Aljawaiz fi Ahkam al-Janaiz
    Secara akademis, kitab atau buku ini merupakan karya terbaik dan paling serius yang disusun oleh KH Abdurrahman. Bahkan, karya ini bisa disebut sebagai magnum opus-nya, baik dari tingkat ketebalan buku yang mencapai 76 halaman maupun dari kelengkapan persoalan yang dibahasnya. Dalam kitab ini juga disebut secara langsung sumber rujukan serta pendapat para ulama tentang masalah yang dibahas, sehingga secara akademik nuktah pemikiran yang termaktub di dalamnya bisa diferivikasi. Kitab ini ditulis dalam huruf jawi berbahasa Sunda. Masing-masing halaman berisi 17 baris, kecuali halaman awal yang berisi 15 baris.
    Sebagaimana tertera dalam jilidnya, kitab ini ditulis pada tahun 1349 Hijriyyah. Di akhir naskah tertulis “rampungna dinten itsnen kaping 29 Dzul-qa’dah sanah 1349.” Berbeda dari buku lainnya, karya ini juga mencantumkan peringatan untuk tidak mengutip dan menggandakan karya ini kecuali atas seizin penulisnya: “la yajuzu thabhun hadza al-kitab illa bi idzni mu’allafih.” Seperti diakuinya sendiri, buku ini ditulis berdasarkan sumber yang paling popular dan mu’tamad di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah: “ngumpulkeun kawula kadinya tina sagala kitab nu masyhur-masyhur tur nu mu’tamad-mu’tamad mungguh ahli sunnah wal Jamaah.” (hal. 2).

    Secara sistematis kitab tanpa daftar isi ini mengupas tentang tatacara pengurusan jenazah sesuai dengan syari’at Islam. Sebelum masuk pada bahasan khusus tentang pengurusan jenazah (kitab al-jana’iz), penulis mengupas terlebih dahulu tentang latar belakang munculnya naskah ini, tentang sunnah melayat orang yang sakit, makruh hukumnya makan di tempat melayat, dan anjuran membaca doa bagi keselamatan orang yang meninggal pada saat melayat.

    3. Al-Musamma bi al-Takhfif fi ‘Ilm al-Tashrif
    Melengkapi terjemahan Jurumiah, KH Abdurrahman juga menulis sebuah kitab kecil dalam bidang sharaf, yakni gramatika bahasa Arab. Kitab tipis ini merupakan usahanya untuk melengkapi bahan ajar bagi penguasaan bahasa Arab di lingkungan Mathla’ul Anwar. Secaea fisik buku ini berukuran 20×12 cm, dengan tebal 38 halaman dan masing-masing halaman berjumlah 18 baris. Sesuai keterangannya di akhir buku, naskah ini selesai ditulisnya pada hari Senin 9 Ramadhan 1371 Hijriyah (tanggal ini jelas perlu diverifikasi ulang, karena tahunnya yang hamper pasti tidak tepat, atau mungkin lebih merupakan tahun penulisan ulang yang dilakukan penerbitnya. Bandingkan dengan tahun wafatnya, 1363 H.). Tidak jelas penerbit apa yang pertama kali mencetak dan mendistribusikan. Tapi edisi terakhir (tanpa tahun) diterbitkan oleh took kitab H. Abdurrachim, sepertinya dengan mempertahankan bentuk awalnya, bahkan sepertinya hanya sekedar meng-copy bentuk aslinya.

    Sebagaimana umumnya beberapa kitab lainnya, l-Musamma bi al-Takhfif fi ‘Ilm al-Tashrif merupakan bahan bacaan praktis bagi siswa atau santri agar mampu memahami gramatika bahasa Arab, suatu kebutuhan yang mutlak diperlukan dalam penguasaan terhadap literatur klasik Islam.
    4. Mandzumat fi Bayani Asbab al-Hifdzi wa al-Ghina
    Naskah ini merupakan hal yang unik dan satu-satunya yang ditulis dalam bentuk nadzam dan disiapkan untuk segmen pembaca dalam tiga bahasa sekaligus: Arab, Indonesia, dan Sunda sekaligus yang disusun secara bergantian. Uniknya lagi, nadzam atau syair dalam ketiga bahasa yang dipakainya memiliki tingkat kualitas yang sama baiknya. Menarik bahwa naskah ini ditulis tidak sekedar untuk bimbingan keilmuan dan keagamaan, tetapi juga disusun sebagai media bagi pembangunan sebuah masjid. Dalam cover buku ini tertulis: “Inilah pemberian tahu, siapa yang beli ini Mandzumat akan didermakan separuh raganya untuk pendirian Masjid Kampung Soreang Menes…”
    Sesuai judulnya, nadzam ini berisi tentang kiat untuk menjadi pintar dan mudah menghafal serta doa dan usaha agar seseorang berhasil meraih kekayaan. Berukuran 17×12 cm, buku ini selesai ditulis pada 12 Jumadil Ula 1353 Hijriyah, atau sekitar 10 tahun sebelum wafatnya, dan diterbitkan oleh Toko Kitab Harun bin Ali Ibrahim, Pekojan, Betawi (Jakarta).
    5. Kumpulan Lima Khuthbah

    Buku atau kitab tipis berukuran saku ini (setebal 36 halaman) berisi tentang lima khutbah, yakni Idul Fitri (1-12), Idul Adha (12-19), Khutbah Jum’at (20-27), Khutbah Nikah (27-31), dan Talqin mayyit.(32-36). Dalam penelusuran naskah di lapangan, penulis mendapatkan 3 (tiga) versi penerbitan, yakni dalam bentuk tulis tangan, cetak batu, dan computerized. Ini mengindikasikan, sebagaimana para informan mengatakan, bahwa buku kumpulan lima khutbah ini merupakan buku penting dan digunakan oleh masyarakat berbagai kalangan dan dijadikan bahan rujukan khutbah di berbagai tempat.

    Berbeda dari buku-bukunya yang lain, kumpulan lima khutbah ini terbit dengan cetakan yang lebih modern. Teksnya tidak lagi berbentuk tulis tangan, tetapi sudah dalam bentuk cetakan. Ukuran fisik buku ini 14×10 cm, dengan tebal sekitar 40 halaman, dengan kondisi cover dan halaman pertama dan terakhir sudah hilang.
    6. Dua Risalah Miftah Bab al-Islam fi Arkan al-Islam wa al-Iman dan Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an

    Buku berukuran sedikit lebih besar dari buku saku ini dua naskah, yakni tentang rukun Islam dan rukun Iman sertta tentang cara membaca al-Quran (tajwid). Naskah pertama berjudul Miftah Bab al-Salam (hal 1-15), sedangkan naskah kedua berjudul Siqayat al-‘Athsyan fi Tajwid al-Qur’an (hal 16-43). Sesuai penjelasan penuliskan pada baris penutup (hal 43), risalah terakhir yang membahas tentang tajwid merupakan terjemahan dari sebuah kitab berjudul Fathurrahman. Tetapi KH Abdurrahman bin Jamal sepertinya melakukan penerjemahannya secara bebas dengan mengambil hal-hal penting dan inti dari kitab tersebut.
    Seperti diduga, buku kecil yang ditulis dalam huruf Jawi berbahasa Sunda ini ditulis untuk memenuhi kebutuhan bahan bacaan bagi siswa madrasah dalam bidang tauhid dan tajwid yang memang masih langka saat itu.

    0 komentar:

    Posting Komentar




    Followers